PERJANJIAN BAKU DALAM ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK
Pada dasarnya terdapat pembatasan
dalam asas kebebasan berkontrak yakni:
a. Pasal
1320 ayat (1) KUHPerdata menentukan bahwa perjanjian tidak sah apabila dibuat tanpa adanya sepakat dari pihak yang
membuatnya. Ketentuan ini memberikan petunjuk bahwa hukum perjanjian dikuasai
oleh “asas konsensualitas”.
Maka kebebasan
suatu pihak untuk menentukan isi perjanjian dibatasi oleh sepakat pihak lainnya
atau dapat dikatakan bahwa asas kebebasan berkontrak dibatasi oleh asas
konsensualitas
b. pasal
1320 ayat (2) KUHPerdata disebutkan bahwa kebebasan untuk membuat suatu
perjanjian dibatasi oleh kecakapan.
c. Pasal
1320 ayat (4) juncto Pasal 1337 KUHPerdata menentukan bahwa para pihak tidak
bebas untuk membuat perjanjian yang menyangkut kausa yang dilarang oleh
undang-undang atau bertentangan dengan kesusilaan baik atau bertentangan dengan
ketertiban umum.
Oleh karenanya
kontrak standar tidaklah melanggar Azas Kebebasan Berkontrak seperti yang
terdapat pada Pasal 1320 Juncto 1338 KUHPerdata. Artinya konsumen masih
diberikan hak untuk menyetujui/ take it atau menolak perjanjian
yang diajukan kepadanya/ leave it.
Disini yang menjadi kekhawatiran dengan kehadiran kontrak standar adalah karena
dicantumkannya klausula eksonerasi yakni
klausula yang mengandung kondisi membatasi atau bahkan menghapus sama sekali
tanggung jawab yang semestinya dibebankan pada pihak penyedia. Sebagaimana
yang telah diatur dalam Pasal 18 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen, yakni
Pasal 18
ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999
“Pelaku
usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan
dilarang membuat atau mencantumkan
klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang
yang dibeli konsumen;
c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali
uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik
secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak
yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau
pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f.
memberi hak kepada pelaku usaha untuk
mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi
obyek jual beli jasa;
g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan
baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh
pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk
pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang
dibeli oleh konsumen secara angsuran.”
Pasal 18
ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999
“Pelaku usaha dilarang
mencantumkan klausula baku yang letak
atau bentuknya sulit terlihat atau tidak
dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya
sulit dimengerti.”
Pasal 18
ayat (3) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999
“Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada
dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi
hukum.”
Pasal 18
ayat (4) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999
“Pelaku usaha wajib menyesuaikan
klausula baku yang bertentangan dengan undang-undang
ini.”
Berdasarkan Pasal 18
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, terlihat bahwa
terdapat larangan-larangan klausula yang tidak boleh dicantumkan dalam suatu
perjanjian. Hal tersebut akan berdampak batal demi hukum dikarenakan telah
menyalahi asas kebebasan berkontrak.
Sehingga pada dasarnya asas kebebasan berkontrak ialah suatu asas dimana para
pihak bebas membuat kontrak dan mengatur isi kontrak tersebut sepanjang
memenuhi ketentuan. Perlu dipahami bahwa unsur asas kebebasan berkontrak pada
dasarnya terdiri atas:
a. Kebebasan
menentukan cara pembuatan perjanjian
b. Kebebasan
menentukan siapa yang akan membuat perjanjian
c. Kebebasan
menentukan bentuk perjanjian
d. Kebebasan
menentukan isi perjanjian
Jadi pada intinya makna dari
asas kebebasan berkontrak harus
dihindarkan dari makna bebasnya para pihak untuk membentuk hukumnya sendiri.
Para pihak sama sekali tidak mempunyai kemampuan untuk membuat Undang-undang
bagi mereka. Mereka hanya diberi kebebasan
untuk memilih hukumnya, hukum mana yang hendak digunakan sebagai dasar dari
kontrak yang dibuat.
Perjanjian baku tersebut tidak menyalahi asas kebebasan berkontrak, dikarenakan
masyarakat masih diberikan ruang untuk dapat memilih yakni:
konsumen hanya
diberi kebebasan dalam hal berikut:
a. kebebasan
untuk memutuskan apakah ia akan membuat perjanjian atau tidak;
b. kebebasan
untuk memilih dengan siapa akan membuat suatu perjanjian.
walaupun pada dasarnya terdapat beberapa asas kebebasan berkontrak yang
tidak dapat di rasakan oleh konsumen yakni:
a.
kebebasan para pihak untuk memutuskan apakah akan
membuat perjanjian atau tidak;
b. kebebasan
untuk memilih dengan siapa akan membuat suatu perjanjian;
c.
kebebasan untuk menentukan bentuk perjanjian;
d. kebebasan
untuk menentukan isi perjanjian;
e.
kebebasan untuk menentukan cara pembuatan perjanjian.
Dengan demikian
dapat disimpulkan suatu perjanjian baku tidak menghilangkan unsur asas
kebebasan berkontrak selama diimbangi dengan prinsip kehati-hatian, keadilan
dan transaksi yang jujur. Namun perjanjian baku akan menyalahi suatu asas
kebebasan berkontrak ketika dalam perjanjian tersebut dimasukkan klausula yang mengandung kondisi membatasi atau
bahkan menghapus sama sekali tanggung jawab yang semestinya dibebankan pada
pihak penyedia.
Sumber referensi:
1.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata
2.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
4.
Andrew Salainti, Perjanjian Baku Hubungannya dengan Asas Kebabasan
Berkontrak dalam Perjanjian Kredit Bank, Jurnal Lex Privatum,
Vol.I/No.4/Oktober/2013
Komentar
Posting Komentar