Akibat Pembatalan Perkawinan Terhadap Anak



Dengan adanya pembatalan perkawinan tidak hanya berpengaruh pada kedua suami dan istri. Namun berpengaruh pula pada harta kekayaan dan status anak. Yang mana menurut pasal 250 KUHPerdata anak yang lahir sepanjang perkawinan bapak-ibunya, dan anak yang dibenihkan didalam perkawinan bapak-ibunya adalah anak sah dari kedua orang tua artinya pertama aya dari seorang anak tersebut adalah bapak/ayah yang membuahi perempuan yang melahirkan anak tersebut dalam perkawinan. Sedangkan dalam kasus ini sang suami bukanlah pria yang membuahi sang istri sehingga anak tersebut disebut anak diluar kawin.[1]
Namun dalam kasus ini berkaitan pula dengan keadaan status anak yang telah dikandung terlebih dahulu oleh si istri sebelum menikah atau yang disebut dengan anak luar kawin. Anak luar kawin atau anak tidak sah yang terjadi karena dilahirkan di luar perkawinan yang sah antara laki-laki dan perempuan. [2] Akibat adanya pembatalan perkawinan ini terhadap anak tersebut yaitu status kedudukan anak dan hak mewaris anak tersebut.  Untuk memahami hal tersebut merujuk pada Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan KUHPerdata.
Akibat dari pembatalan perkawinan yang diatur dalam pasal 28 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Pasal 95 –Pasal 98 KUHPerdata membedakan beberapa hal yakni :
1.      Itikad baik dari suami dan istri.
2.      Itikad baik hanya berasal dari salah satu pihak.
3.      Tidak adanya itikad baik dari suami dan istri.
Apabila ada itikad baik yang lahir dari kedua belah pihak maka akibat hukum terhadap suami, istri dan anak-anak masih tetap ada. Mengenai batalnya perkawinan hanya mempunyai akibat hukum setelah pembatalan dan sebelum adanya pembatalan, perkawinan tersbeut tetap dianggap sebagai perkawinan yang sah. Sedangkan terkait dengan harta kekayaan maka anak-anak ang lahir dari perkawinan tersebut dianggap sebagai anak sah dan hal ini berlaku pula terhadap anak luar kawin dan adopsi. Apabila tidak ada itikad baik dari suami dan istri maka keputusan hakim akan berlaku surut sampai pada saat perkawinan dilangsungkan dan dalam perkawinan ini maka persatuan harta, anak-anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak luar kawin. [3]
Mengenai status hukum anak tersebut maka melirik pada keturunan yang dibedakan antara keturunan sah dan tidak sah. Keturunan sah adalah keturunan yang dilahirkan dari perkawinan yang sah, sedangkan keturunan yang tidka sah adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah. Dalam kasus ini tergolong pada keturunan tidak sah yang dapay di akui dan tidak dapat diakui. Sehingga dalam KUHPerdata tidak menyebutkan secara langsung mengenai akibat pembatalan perkawinan bagi stastus anak yang dilahirkan. Menurut KUHPerdata anak merupakan anak sah dan berhak mewaris jika kedua suami istri beritikad baik atau jika salah satunya beritikad baik. Sedangkan apabila dari salah satu mereka ada yang beritikad buruk maka anak akan berstatus sebagai anak luar kawin. Jika anak luar kawin ini diakui, maka anak tersebut berhak mewaris. Namun, jika anak luar kawin tersebut tidak diakui maka ia tidak berhak memperoleh bagian warisan. Namun menurut Sedangkan menurut Undang- Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada pasal 28 ayat (2) huruf a menyatakan bahwa pembatalan tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Permasalahan yang diangkat adalah mengenai perbandingan akibat pembatalan perkawinan terhadap status anak dan hak mewarisnya menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan KUHPerdata apabila kedua belah pihak mempunyai itikad baik, apabila itikad baik hanya dimiliki oleh salah satu pihak saja (hanya suami atau istri saja) dan jika keduanya tidak mempunyai itikad baik (beritikad buruk).[4]
Dalam hal ini menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 karena perkawinan ini batal demi hukum, maka sejak awal dianggap perkawinan tersebut tidak ada, namun keputusan tersebut tidak berlaku surut terhadap beberapa hal yaitu suami dan istri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta bersama bila pembatalan perkawinan didasarkan adanya perjawinan terlebih dahulu, pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan ini berkekuatan tetap[5] dan  terkait dengan status anak tersebut tetap dianggap sebagai anak sah, sehingga berhak atas pemeliharaan dan pembiayaan serta waris[6]
Terhadap kasus ini sang suami yang mengajukan pembatalan perkawinan dapat mengajukan penyangkalan atas anak yang dikandung oleh sang istri. Dalam hal ini terkait dengan penyangkalan anak berdasarkan KUHPerdata yang diatur dalam pasal 251, pasal 254, pasal 242-243 KUHPerdata menyebutkan alasan penyangkalan anak yaitu :
  1. Jika anak lahir sebelum 180 hari sejak perkawinan.
  2. Suami dalam masa 300 hari hingga 180 hari sebelum anak dilahirkan, tidak bergaul dengan isterinya.
  3. Isteri melakukan perzinahan dan kelahiran anak ini disembunyikan terhadap suami.
  4. Anak itu lahir lewat dari 300 hari sesudah ada putusan pengadilan negeri yang meyatakan perpisahan meja dan tempat tidur. [7]
            Penyangakalan anak dapat dilakukan oleh suami sendiri, maka :
a.    Satu bulan ia berada di tempat.
b.    Dua bulan sesudah ia kembali dari bepergian.
c.    Kehadiran disembunyikan dua bulan.
d.    Dilakukan oleh ahli waris suami, setelah 2 bulan suami meninggal[8]


[2] Imam soebekti, wienarsih dan sri soesilowati. Hukum perorangan dan kekeluargaan perdata barat. Jakarta.  Gitama jaya Jakarta.2005 hal 77
[4]  http://elibrary.ub.ac.id/handle/123456789/27756  diakses pada 14 juli 2013 pukul 19 : 42
[5] http://legalakses.com/pencegahan-dan-pembatalan-perkawinan/ diakses pada 14 Juli 2013 pukul 20 :10
[6] http://fh.unpad.ac.id/repo/?p=385 diakses pada 14 Juli 2013 pukul 20:04
[7] Imam soebekti, wienarsih dan sri soesilowati. Hukum perorangan dan kekeluargaan perdata barat. Jakarta.  Gitama jaya Jakarta.2005 hal 75

Komentar

Postingan Populer