ANALISIS HUKUM BIROKRASI DAN MANAJEMEN NEGARA


Analisis kasus 1 :
Terkait mengenai berita “ Manajemen Pengelolaan Rusunawa Masih Lemah” ini menerangkan bahwa masih lemahnya system manajemen pengelolaan rumah susun yang membuat banyaknya pelanggaran terhadap penggunaan rumah susun itu sendiri. Lemahnya manajemen pengelolaan ini membuat jalannya aturan yang berkaitan atas rumah susun tidak berjalan dengan semestinya dan membuat semakin banyaknya persoalan yang timbul. Hail ini seperti yang dicontohkan yyang terjadi di Rusunawa Waduk Pluit, Jakarta Utara, setelah terjadinya banjir yang melanda Jakarta beberapa bulan lalu membuat banyakanya warga yang menempati rumah susun tanpa izin. Selain itu juga terjadi di Rusunawa Marunda Cilincing, Jakarta Utara yang melakukan pemindahan hak secara illegal.Terkait masalah yang berhubungan dengan birokrasi dan manajemen Negara yaitu mengenai patologi yang timbul dari para birokrat dan system birokrasi yang ada untuk mencapai Good Governance.
Pemerintah daerah dalam hal ini gubernur dan wakil gubernur serta para jajaran nya sebagai para birokrat harus memikirkan langkah apa yang mesti diambil untuk memperbaiki system manajemen pengelolaan. Dengan terlihatnya system yang tidak berjalan efektif ini menunjukkan bahwa birokrasi tidak berjalan dengan baik sehingga menimbulkan suatu akibat yang nantinya akan membuat tidak tercapainya Good Governance.
Prof. Prayudi Atmosudirdjo menyebutkan birokrasi mempunyai 3 arti yaitu :
1. Sebagai tipe organisasi yang khas
Dalam hal ini pemerintah ( Gubernur dan para jajarnnya) harus mampu mengorganisir pekerjaan yang dilakukan banyak orang dan sebagai organisasi khas dengan ciri-ciri ideal sebagai berikut :
Mengikuti prnsip organisasi dengan sepenuhnya
Pelakasanaan birokrasi harus patuh pada peraturan yang melandasinya.
Para birokrat bekerja dengan sungguh-sungguh.
Para birokrat ini melaksanakan disiplin yang membatasi kewenangan,
Pengangkatan birokrat berdasarkan syarat syarat teknis tertentu.
Harus adanya pemisahan tegas antara urusan pribadi dan dinas.
2. Sebagai suatu system
Sebagai suatu system kerja yang tidak pilih kasih.
3. Sebagai tatanan dan alat kerja birokrat
4. Birokrat tidak menyimpang dari apa yang telah diperintahkan oleh atasan atau oleh peraturan perundang-undangan.
Pada dasarnya manajemen menjiwai seluruh kegiatan organisasi oleh karenanya perlu diketahui hakekat manajemen dan fungsi manajemen itu sendiri agar tidak menyebabkan penumpukan persoalan.
Terkait dengan kasus diatas maka seharusnya perlu dipahami hakekat manajemen itu terdiri atas manajemen sebagai ilmu yaitu suatu kumpulan dari pengetahuan yang sifatnya sistematik dan didasarkan prinsip organisasi itu.Sehingga perlu disesuaiakan dengan prinsip pemerintah terkait rumah susun itu sendiri yang senantiasa dapat memberikan tempat tinggal untuk warga Jakarta agar pola kehidupan dapat ditata lebih baik kembali.Manajemen sebagai seni yang mana manajemen ini kumpulan dari keahlian dan keterampilan manuasi yang mempunyai seni dalam rangka mencapai tujuan dari adanya atau pengadaan rumah susun ini. Selanjutnya yaitu manajemen sebagai kordinasi sebagai suatu proses dalam hal mengkoordinasikan ilmu pengetahuan yang telah diatur dalam perundang –undangan tentang rumah susun dengan system eksekusi yang baik dari seni kepemimpinan para birokrat agara mencapai tujuan UU No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun untuk mengatasi permukiman bagi kaum urban perkotaan, khususnya masyarakat berpenghasilan rendah.
Apabila manajemen ini tidak terlaksana dengan baik maka fungsi dari manajemen itu sendiri tidak berjalan dengan penuh. Fungsi manajemen terdiri atas :
1. Perencanaan
2. Pengoraganisasian
3. Motivasi
4. Pengawasan
Maka dari keseluruhan fungsi ini ada beberapa fungsi yang tidak berjalan dengan lancer membuat tujuan dan hakekat dari manajemen itu tidak tereksekusi dengan baik.Tanpa pengawasan yang teratur maka membuat perencanaan dan pengoraganisasian tidak dapat berjalan dengan sempurna.
Berkaitan dengan kegiatan birokrasi public yang sesuai dengan pembangunan rumah susun yang ditawarkan untuk mengatasi warga yang sudah pindah tanpa izin dan menyebabkan adanya warga yang tidak mendapat tempat ( rumah susun) ini sebagai bentuk kegiatan dari Development Activities. Kegiatan pembangunan ini sesuai dengan rencana pembangunan Rusunawa Waduk Pluit yang memberikan keuntungan baik dari segi pemerintah dan segi warga.Untuk pemerintah untuk mengurangi risiko social dan membuat ekosistem waduk dapat relative terjaga karena konsentarsi hunian waraga ada dibeberapa titik saja.
Peran dari para birokrat terkait kasus diatas mampu menguasai dan menghayati tujan utama yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan sesuai dengan Undang- undang dasar 1945 hingga UU No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun. Merumuskan lebih lanjut apa yang ditentukan dalam kebijakan umum agar di eksekusi secara konkrit dan tidak merugikan pemerintah dan warga. Mengembangkan agar dapat menjalankan apa yang telah dipercayakan oleh negera terhadap para birokrat. Sehingga perlu adanya fungsi manajemen yang berjalan agar tidak membuat masalah bertambah.Memelihara dan mengembangkan manajemen sebagai top manajemen.Semua tujuan dari adanya pembangunan rumah susun ini tercapai.
Maka diperlukan suatu kebijakan baru yang mampu memperbaiki system manajemen pengelolaan yang teratur dan efektif dengan melakuakan penyusunan konsep pertama dari kebijakan yang telah ada sesuai dengan UU No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, memberikan suatu rekomnadasi dari suatu kebijakan dengan pengadaan analisa kebijakan rekomendasi yang diajukan melahirkan suatu perumusan kebijakan setelah dianalisa dengan pengambilan keputusan dan persetujuan formil dan pelaksanaan kebikjakan dan adanya suatu evaluasi setiap kebijakan agar dapat mengontrol dari fungsi pengawasan. Selain dengan membentuk kebijakan sebisa mungkin birokrat ini mampu menjadi sebagai stabilator dan juga katalisator kepada warga sehingga menimbulkan suatu titik kepercayaan dari warga terhadap para birokrat.Berjalan secara dinamisator mampu Action Oriented dalam penyelenggaraan kebijakan yang tidka hanya disepakati dan menguntungkan untuk para birokrat namun menguntungkan pula untuk rakyat.
Sehubungan dengan perencanaan dari wakil gubernur Basuki Tjahja Purnama untuk memidanakan warga yang mengisi Rusunawa tanpa izin dan juga pengajuan konsep untuk melakukan suatu pembangunan Rusunawa kembali merupakan sutau perencanaan yang lahir dari birokrat sebagai meisn penggerak kegiatan pemerinthan.Sehingga nantinya melahirkan suatu produk hukum yang diharapkan mampu menyimbangkan dengan hak-hak rakyat.
Manajemen yang tidak berjalan efektif ini disebabkan adanya patologi birokrasi didalalamnya.Patologi birokrasi adalah penyakit yang timbul dari dalam birokrasi Negara yang muncul akibat perilaku para birokrat dan kondisi keadaan yang memberikan kesempatan untuk hal tersebut.Dikaitkan dengan kasus maka patologi ini terkait dengan perilaku yang tercermin dari para birokrat yang membuat adanya sikap kaku dan tidak disiplin, adanya konspirasi dengan oknum –oknum tertentu yang menyebabkan bisa terjadi pemindahan hak secara illegal.Maka dari itu upaya yang dapat dilakukan sebagai tindakan preventif yaitu membuat suatu paradigm birokrasi yang ideal dengan mampu mengarahkan ketersidiaan tenaga kerja yang sesuai dengan kemampuan dan kesempatannya.
Selanjutnya yaitu dengan Total Quality Management yang menekankan pada pengkajian yang intensif berhubungan dengan pencapaian tujuan yang optimal.Memberikan pemahaman persyaratan yang harus dipenuhi dalam hubungan antara birokrat dengan warga.Terakhir dengan memberikan sikap tanggapan terhadap tuntutan para anggota kelompok masyarakat.

Analisis kasus 2 :
Adanya perintah Gubernur DKI-Jakarta untuk menempatkan Satpol PP didaerah-daerah yang rawan merupakan suatu bentuk perhatian pemerintah terhadap warga dan untuk mengurangi terjadinya bentuk-bentuk tindak pidana yang mampu merugikan orang lain. Dalam hal ini menunjukkan adanya birokrasi public yaitu bentuk tata kerja dalam rangka memberikan pelayanan umum untuk menjaga ketertiban umum di Jakarta. Diperkuat dengan pernyataan Kepala Satpol PP untuk tidak hanya memberi perintah namun bertindak pula menunjukkan adanya system manajemen yang baik dengan memperhatikan hakekat manajemen dan fungsi manajemen yang terdiri atas :
1. Perencaanaan
Perencanaan ini lahir dari konsep besar Gubernur DKI-Jakarta untuk memberikan rasa nyaman dan ketertiban.
2. Pengorganisasian
Adanya tindak lanjut dari perencaan dari Gubernur DKI-Jakarta oleh Kepala Satpol PP dengan mengerahkan anggota Satpol PP dititik rawan.
3. Motivasi
Adanya tindakan yang mampu memberikan anggota Satpol PP ini benar-benar menjalankan tugas untuk mencapai tujuan awal dengan cara Kepala Satpol PP yang tidak hanya memerintah namun ikut terjun langsung kelapangan ini yang memberikan suatu dorongan kerja untuk para anggota lainnya. Sehingga mampu menjadi contoh bagi para anggota Satpol PP.
4. Pengawasan
Keseluruhan aktifitas yang telah dilaksanakan dengan adanya pengawasan ini sebagai penentu evaluasi apakah tercapai atau tidak tercapai.Namun dengan Kepala Satpol PP ini ke lapangan menunjukkan adanya fungsi pengawasan secara langsung.
Pengerahan Satpol PP ke titik rawan ini merupaka suatu kegiatan birokrasi public dalam lingkup Government Activities yaitu dengan adanya pemberian pelayanan ke masyarakat untuk menciptakan suatu ketertiban dan keamanan secara rutin. Dengan peran menguasai dan menghayati tujuan utama adanya Satpol PP yang terdapat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentangPemerintahan Daerah yang mengamanatkan dibentuknya Satuan Polisi Pamong Praja untuk membantu Kepala Daerah dalam menegakkan Peraturan Daerah dan penyelenggaraan ketertiban umum serta katentraman masyarakat. Yang mana tidak hanya untuk melakukan suatu penertiban Pembongkaran bangunan liar, penertiban pedagang kaki lima, PSK dan gelandangan, yang sering berujung bentrokan fisik, merupakan gambaran kesehariannya. Namun ditambakan oleh Gubernur DKI-Jakarta dengan adanya penempatan Satpol PP di wilayah rawan dan keramaian seperti terminal, Stasiun dan lain sebagainya tetap mengacu pula terhadap Undang-undang dasar 1945. Selain Undang-undang No 32 Tahun 2004 perihal Satpol PP itu sendiri diatur dalam Undang-undang No 6 Tahun 2010.Merumuskan lebih lanjut kebijakan umum diatas dengan suatu tindakan konkrit menjadi Top Manajer agar tercapainya tujuan dengan sebaik-baiknya.
Selain daripada peran terdapat tanggung jawab birokrat , menurut Prof. Prayudi yang terdiri atas :
Responsibility
Harus adanya tanggung jawab dari anggota bawahan Satpol PP terhadap Kepala Satpol PP yang kemudian diterukan ke Pemerintah daerah yang terikat dengan Gubernur dan wakil gubernur.
Liablity
Tanggung jawab terhadap hukum maka tidak dimungkinkan untuk melebihi kewenangan yang diberikan Undang-undang No. 6 Tahun 2010 dan Undang-undang No. 32 Tahun 2004.
Accountabilty
Sehubungan dengan pertanggung jawaban birokrat, maka perlu adanya pengawasan terhadap pelakasanaan tugas pemerintahan.Pangkal tolak dari pengawasan itu sendiri berbalik pada adanya rencana.Sehingga perlu pengawasan yang Objective Oriented.
Dengan telah dirasakannya perubahan peran dan aksi Satpol PP ini menunjakkan bahwa sudah terlihat adanya pencapaian tujuan yang diharapkan dan dengan orientasi birokrasi public yang berjalan dengan baik ini memungkinkan terbentuknya Good Governance.Yang mana pencapaian ini bisa terlaksana dikarenakan telah berjalannya AUPB yang baik terhadap prosedur pengambilan keputusannya dan mengenai kebenaran fakta yang dijadikan pembuatan keputusan. Dapat dikatakan sebagai Good Governance apabila :
1. Tujuan telah dilaksanakan dengan baik.
2. Proses pembuatannya berjalan dengan baik pula.
3. Para pejabat memperlihatkan fungsi dan tugas yang sesuai dengan kewenangnya.
4. Adanya regenerasi yang baik.
Maka prinsip Good Governance :
1. Participation
Adanya partisipasi yang baik dari berbagai lapisan baik itu masyarakat dan pemerintah terutama dari Satpol PP.
2. Concensus oriented
Dalam pengambilan keputusan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan pemerintah namun atas dasar kesepakatan yang mengutamakan kepentingan umum.
3. Accountable
Pembuat keputusan baik pemerintah atau pun swasta ataupun masyarakat bertanggung jawab kepada public.
4. Transparency
Adanya arus informasi yang terbuka dalam pengambilan keputusan.Transparansi ini diharapkan pemerintah dalam hal memberikan kewenangan baru terhadap Satpol PP ini di beritahukan ke public sehingga adanya keterbukaan atas pengamb ilan keputusan dan dapat dievaluasi bersama untuk kepentingan bersama.
5. Responsive
Lembaga dan proses melayani stake holder secara tanggap. Hal ini terlihat sejak awal Gubernur DKI-Jakarta memberikan konsep perencanaan ini menunjukkan ada sikap tanggap dari pemerintah terhadap keamanan dan ketertiban yang lebih optimal terhadap masyarakat.Terlebih lagi eksekusi pelaksanannya oun yang berjalan dengan cepat memberikan suatu warna baru terhadap Satpol PP. Paradigma baru yang memberika suatu citra yang baik untuk Satpol PP dalam menjaga ketertiban dan keamanan.
6. Effective dan efficient
Proses dan pelaksanaan keputusan dilakukan seoptimal mungkin agar tercapai tujuan ketertiban umum di masyarakat.Yang mana keputusan terkait dengan Satpol PP ini tidak membuat suatu kesulitan dan keributan dimasyatrakat maupun di dalam lingkuan Satpol PP itu sendiri.
7. Equity
Semua pihak memiliki kesempatan untuk berpendapat tanpa adanya perbedaan.
8. Rule of law
Kerangka dalam bekeraja haruslah jelas dengan menjujung adanya HAM. Produk hukum apapun yang dikeluarkan oleh Gubernur DKI-Jakarta diharapkan tidak bertentangan dengan Undang-undang dasar serta Undang –undang No. 32 Tahun 2004 dan Undang-undang No. 6 Tahun 2010.

Yang perlu diperhatikan kembali dalam pencapaian Good Governance yaitu dengan pelaksanaan prinsip umum orientasi birokrasi public dalam melakukan public service harus memperhatikn kepentingan public.Sehingga birokrat harus memberikan suatu motivasi dan contoh yang baik ke masyarakat dengan memberikan pelayanan yang baik.Dalam hal ini dengan memberikan kesempatan public untuk berpendapat dan memberikan evaluasi untuk dapat melakukan suatu perbaikan-perbaikan untuk tercapainya tujuan dari dibentuknya Satpol PP itu sendiri sesuai dengan nilai dan kode etiknya.
Adanya sumber otoritas yang jelas yaitu dengan pendelegasian Gubernur DKI-Jakarta kepada Kepala Satpol PP dalam pelimpahan wewenang baru yang telah ada kepada jabatan atas nama yang berasal dari wewenang atribusi. Acuannya terletak pada Undang-undang dasar 1945, Undang-undang yang terkait dengan Satpol PP yaitu Undang-undang No. 6 Tahun 2010 dan Undang-undang No. 32 Tahun 2004. Sehingga para birokrat ( Satpol PP ) ini dalam melaksanakan tugasnya harus berlandaskan pada asas-asas berikut ini:
1. Yuridikitas
2. Legalitas
3. Diskresi
4. AUPB
Yang nantinya melahirkan suatu penillaian yang mencangkup isi dari kebijakannya, pelaksanaan penempatan Satpol PP di tempat yang rawan dan tempat keramaian yang ditinjau sejak perumusan kebijakan, formulasi, legitimasi sampai pelaksanaannya. Evaluasi ini baik secara politis karena dilakukan oleh para pejabat eksekutif, legislative dan yudikatif serta penilaian dari luar yaitu media massa, masyarakat, dan para ahli terkait penempatan Satpol PP dititik keramaian yang rawan kejahatan.

Komentar

Postingan Populer