Hukum Agraria



KOMENTAR terhadap  UU NO.2 tahun 2012
Tentang pengadaan tanah bagi pembangunan dan kepentingan umum

Penyediaan atas tanah yang diungkapkan dalam Undang –undang No. 2 Tahun 2012 digunakan untuk kepentingan umum sesuai dengan pasal 3 yang menyatakan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum bertujuan menyediakan tanah bagi pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara, dan masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan hokum Pihak yang Berhak. Namun sebenarnya hal ini perlu diawasi dengan cermat karena dimungkinkan terjadi penyelewengan kepentingan yang nantinya mengabaikan kepentingan umum sehingga tidak terpenuhinya kepentingan rakyat dikarenakan adanya kepentingan bisnis. Undang-undang ini penting sebagai suatu prosedur dalam pengadaan atas tanah yang diharapkan jangan sampai pihak-pihak tertentu sengaja memamfaatkan undang-undang ini kemasyarakat yang tidak mengetahui hokum dan rencana pembangunan didaerahnya.
Terkait dengan pembahasan pemberian ganti rugi sesuai dengan pasal 39 ini cukup perlu dicermati kembali mengenai pihak yang tidak setuju akan nilai ganti rugi dan tidak melakukan penolakan dianggap menyetujui. Sebenarnya hal ini sangat memaksakan kehendak perlu diperhatikan alas an tidak mengajukan penolakan dikarenakan buta akan proses hokum terkait pemberian ganti rugi ini sehingga mereka tidak dapat melakukan penolakan.
Pasal 42 yang berisikan sebagai berikut Dalam hal Pihak yang Berhak menolak bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian berdasarkan hasil musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, atau putusan pengadilan negeri/Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Ganti Kerugian dititipkan di pengadilan negeri setempat. Hal ini pun pada akhirnya tidak menciptakan nilai keadilan yang di junjung pada pasal 2 huruf b yang berisikan Yang dimaksud dengan "asas keadilan" adalah memberikan jaminan penggantian yang layak kepada Pihak yang Berhak dalam proses Pengadaan Tanah sehingga mendapatkan kesempatan untuk dapat melangsungkan kehidupan yang lebih baik. Sejatinya hal ini menunjukkan ada ketimpangan hukum yang melanggar hak seseorang sesuai dengan isi Pasal 28 H Ayat (4) yang dinyatakan:”setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil-alih secara sewenang-wenang oleh siapapun. Berdasarkan pendapat Budi Soedarsono apabila keadaan sudah tidak menghasilkan kata sepakat anatar kedua belah pihak maka presiden berwenang untuk mengambil tanah yang diperlukan untuk kepentingan umum.

Komentar

Postingan Populer